Penolakan Atlet Israel di Kejuaraan Dunia Senam 2025: Antara Politik, Sportivitas, dan Identitas Nasional

Jakarta, Oktober 2025
Keputusan Pemerintah Indonesia untuk menolak visa bagi enam atlet Israel yang semula terdaftar untuk berlaga di Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 di Jakarta menuai kontroversi dan kritik dari berbagai pihak. Sebagaimana dilaporkan media, keputusan ini bukan hanya soal olahraga, tetapi sudah menyentuh ranah diplomasi, identitas nasional, dan etika internasional. Apakah sportifitas tetap bisa dijaga dalam situasi seperti ini? Artikel opini ini akan mengulas dari berbagai sisi.
Kejuaraan Dunia Senam Artistik dijadwalkan berlangsung di Jakarta pada 19-25 Oktober 2025. Israel termasuk salah satu dari 86 negara terdaftar, dengan atlet seperti Artem Dolgopyat, juara dunia & medali emas Olimpiade, diharapkan ikut.
Namun, keputusan pemerintah pusat melalui Menteri Hukum dan HAM dan Kementerian Imigrasi membatalkan penerbitan visa kepada atlet Israel. Federasi Gimnastik Indonesia (FGI) kemudian mengonfirmasi bahwa visa telah dibatalkan, menyusul tekanan dari publik, partai politik, dan organisasi keagamaan.
FIG (Federasi Gimnastik Internasional) meskipun mencatat keputusan Indonesia, menyatakan harapan agar lingkungan olahraga bisa tetap inklusif & aman bagi semua atlet, namun tidak mengancam akan menarik status penyelenggaraan event meskipun statuta mereka memberinya wewenang dalam situasi visa ditolak.
Perspektif Pemerintah & Pendukung Penolakan
Di pihak Indonesia, ada beberapa argumen yang dikemukakan:
- Konsistensi Politik Luar Negeri
Pemerintah menyatakan bahwa penolakan ini sejalan dengan kebijakan luar negeri dan sikap politik Indonesia terhadap konflik Palestina-Israel. Pemerintah menolak legitimasi terhadap Israel selama konflik kemanusiaan berlangsung, dan melihat olahraga sebagai ruang yang tak bisa dipisahkan dari simbolik politik dan solidaritas. - Respons terhadap Aspirasi Publik
Banyak organisasi masyarakat, lembaga keagamaan, dan politisi yang memprotes jika atlet Israel diizinkan masuk. Kekhawatiran atas reaksi publik dan potensi kerusuhan juga disebut sebagai dasar pertimbangan pemerintah agar mengambil langkah preventif. - Pertimbangan Keamanan dan Stabilitas
Ada asumsi bahwa kehadiran delegasi dari Israel dalam kondisi konflik dapat memicu ketegangan, baik sosial maupun politik. Pemerintah menyebutkan bahwa keamanan dan keselamatan menjadi prioritas penyelenggaraan, serta menjaga kredibilitas tuan rumah.

Namun, ada berbagai kritik yang muncul terhadap penolakan ini:
Nilai Netralitas dalam Olahraga
Salah satu prinsip dasar olahraga internasional adalah bermain slot gampang menang
netralitas politik – atlet dianggap mewakili olahraga, bukan politik negaranya. Penolakan berdasarkan kebangsaan bisa dianggap mencederai prinsip itu, dan berpotensi membuka pintu bagi praktik seleksi berdasarkan politik di event-event olahraga mendatang.
Hak Atlet Individu
Bagi atlet seperti Artem Dolgopyat dan lainnya, ini bukan hanya soal keikutsertaan dalam turnamen; ini soal hak atas kesempatan bertanding. Di mata banyak pihak, atlet tidak seharusnya menjadi korban dari konflik diplomatik yang berada di luar kendali mereka.
Dampak Internasional & Reputasi
Keputusan ini berpotensi berdampak pada hubungan olahraga internasional, hubungan diplomatik, dan reputasi Indonesia sebagai tuan rumah event internasional. FIG meskipun tidak langsung mengancam, tetapi secara resmi telah “mencatat” keputusan Indonesia dan berharap lingkungan kompetisi bisa tetap inklusif.
Apakah Ada Preseden & Konsistensi?
Kritikus bertanya, apakah Indonesia sudah konsisten dalam kasus-kasus sebelumnya? Ada beberapa preceden (contohnya kejuaraan U-20 FIFA, Asian Games tahun-tahun sebelumnya) bahwa Israel sering dilarang masuk Indonesia karena kebijakan serupa. Konsistensi semacam ini dipandang penting agar keputusan tak dikritik sebagai keputusan populis semata.

Dimensi Legal & Regulasi
Kewenangan FIG & Peraturan Event
Sebagai badan olahraga internasional, FIG memiliki aturan soal visa dan penyelenggaraan event. Biasanya, jika negara tuan rumah menolak visa tanpa alasan yang “dibenarkan” secara internasional, FIG bisa mengambil tindakan, termasuk mengganti lokasi penyelenggaraan. Namun, FIG tampaknya memilih untuk bersikap hati-hati dalam kasus Indonesia.
Konstitusi & Kebijakan Nasional
Di dalam negeri, penolakan ini dipandang oleh beberapa pihak sebagai tindakan konstitusional, terkait amanat bahwa Indonesia tidak mengakui penjajahan dan harus mendukung keadilan dan kemanusiaan. Referensi ke UUD dan nilai-nilai kemanusiaan dipakai untuk memperkuat argument tersebut.
Hak Asasi & Etika Internasional
Ada pula dimensi HAM: apakah atlet mendapat jaminan perlindungan hak mereka atas kebebasan bergerak, berkompetisi, dan tidak didiskriminasi berdasarkan kebangsaan? Ini menjadi pertanyaan etis dalam konteks hak olahraga internasional.
Implikasi dan Refleksi
Penolakan ini bukan hanya soal “Israel boleh ikut atau tidak”, melainkan sebuah simbol kuat politik identitas dan solidaritas internasional. Indonesia memilih untuk menegaskan sikap di tengah tekanan domestik dan internasional bahwa keberpihakan terhadap Palestina bukan hanya retorika, tetapi bisa diperlihatkan melalui tindakan nyata — meskipun tindakan tersebut kontroversial.
Bagi komunitas olahraga di Indonesia, kasus ini bisa menjadi titik refleksi:
- Seberapa besar olahraga dijadikan arena diplomasi?
- Bagaimana calon tuan rumah event menangani tekanan politik dan konflik identitas?
- Seberapa siap masyarakat menerima bahwa sebuah event olahraga bisa “terpolitisasi”?
Dari sudut pandang politik domestik dan pertimbangan keamanan, keputusan pemerintah Indonesia jelas memiliki dukungan kuat, dan dapat dimengerti dalam konteks nilai-nilai yang dipegang bangsa ini. Namun dari perspektif internasional olahraga, keputusan tersebut menimbulkan dilema: antara mempertahankan prinsip olahraga murni dan menegakkan nilai-nilai solidaritas & kemanusiaan.
Kalau saya harus merumuskan opini pribadi: Keputusan ini valid sebagai ekspresi politik dan solidaritas, tapi idealnya ada ruang dialog internasional agar atlet individu tidak menjadi korban situasi politik di luar kendali mereka. Indonesia sebagai tuan rumah harus mampu menjaga agar event olahraga tetap menjadi ruang persatuan, bukan pemecah. Keterbukaan terhadap kritik serta kesiapan untuk bertanggungjawab atas dampak internasionalnya harus dipegang teguh.